Menjadi Seorang Muttaqin Yang Fitri

Idul Fitri (id al-fithri) adalah hari raya yang selalu disambut meriah kedatangannya oleh orang mukmin dan muslim yang berpuasa Ramadhan. Bukan karena dengan datangnya hari Fitri itu mereka telah terbebas dari kewajiban berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan yang “cukup berat”. Lebih dari itu, karena mereka telah kembali kepada kesucian mereka sebagai seorang manusia. Id al-fithri, yang secara harfiah berarti kembali kepada fitrah, kesucian, kembali kepada keadaan semula manusia ketika dilahirkan di muka bumi. Karena itulah ada juga yang menyebut hari raya Idul fitri sebagai hari kesucian, hari kemenangan, umat manusia yang telah menang mengendalikan diri dari nafsu-nafsu yang buruk.

Fitrah dalam perspektif islam berarti kembali ke asal kesucian, ke pusat eksistensialnya. Seperti digambarkan oleh seorang guru besar di universitas Amerika, Seyyed Hossein Nasr, dengan mencapai fitrahnya maka manusia kembali kepada axis, poros atau sumbu eksistensinya, meninggalkan rim atau lingkaran luar yang berada jauh dari pusat eksistensial manusia itu sendiri. Semakin menjauhnya manusia dari axisnya dalam banyak hal karena manusia gagal mengembangkan unsur ketuhanan (lahut) yang suci di dalam dirinya sendiri. Manusia telah dibekali Tuhan dengan sifat-sifat hanif, sehingga manusia menjadi pengasih (Rahman), penyayang (Rahim) dan pemaaf (ghafur), yang dapat menghantarkan manusia, secara pribadi atau komunitas, kearah kebaikan dan kedamaian. Sayangnya, banyak manusia lebih dikuasai oleh unsur kemanusiannya (nasut) yang juga diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yang berupa hawa nafsu dan dorongan – dorongan instingtif lainnya. Semakin berkuasanya unsur nasut dalam jiwa manusia, pada gilirannya membuat manusia lebih dikuasai angkara murka, kerakusan harta, dan kekuasaan daripada kesejahteraan dan kemuliaan rohani. Memang tarik menarik antara unsur Nasut dan Lahut di dalam diri manusia merupakan pergulatan abadi, sejak jaman dahulu kala ketika Nabi Adam dan siti Hawa dibuang kebumi, peperangan memperebutkan pengaruh disuatu wilayah dll, atau akan lebih mudah kita melihat bagaimana tarik menarik antara unsur Nasut dan Lahut jika kita melihat epik Mahabarata, dalam epik tersebut digambarkan dengan bagus bagaimana tarik menarik antara dua unsur tersebut.

Umat islam melalui puasa sebulan penuh, dilatih oleh Allah untuk memenangkan “pertempuran” tersebut, jika unsur lahutnya menang, maka ia tidak hanya kembali kepada fitrahnya tapi juga terangkat martabatnya di mata Allah lebih mulia dari Malaikat. Akan tetapi jika unsur Nasut yang menang, maka ia akan terjerumus kedalam lubang kenistaan tanpa dasar. Puasa yang akan segera kita selesaikan dalam waktu kurang dari 1 minggu ini, merupakan riyadhah jasmaniah wa ruhaniyyah, latihan fisik dan spiritual kearah pensucian jiwa, yang nantinya akan dapat membantu mengembangkan unsur lahut dalam diri manusia. Jika ini berhasil maka manusia tersebut bukan hanya membuka “tabir” yang membatasi dirinya dengan Tuhan, tapi sekaligus dapat memiliki ma’rifah yang memungkinkan untuk lebih arif dalam memandang diri, masyarakat dan lingkungan alamnya.

Latihan – latihan pengendalian diri yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini diharapkan
dapat menghantar kita menjadi orang-orang yang menang dalam meraih kembali kesucian (fithrah). Inilah salah satu ciri orang yang berpuasa yang mampu meraih derajat takwa, yaitu orang yang suci, kita menjadi muttaqin yang fitri. Wallahu alam…..

by : Dari berbagai sumber (MOKAMI)

0 comments:

Post a Comment